Lesbian Bisa Dicegah, tapi Tak Bisa Diubah
Orientasi seksual lebih besar dipengaruhi lingkungan, meskipun setiap orang memiliki gen feminin dan maskulin dalam dirinya. Dengan kata lain, pengaruh lingkungan lebih hebat dari gen, termasuk mengenai kecenderungan orientasi seksualnya. Heteroseksual bisa berubah menjadi homoseksual, atau sebaliknya. Dan, setiap orang memiliki potensi menyukai sesama jenis, lesbi atau gay.
"Meskipun pola asuh dan lingkungan mendorong heteroseksual, namun perubahan yang terus berjalan sampai dewasa bisa mengubah orientasi seksual seseorang. Apalagi mereka yang tidak dibekali pembentukan diri, karakter, pendidikan agama, dan moralitas dari orangtuanya," papar psikolog klinis Lita Gading kepada Kompas Female.
Menurut Lita, proses orientasi seksual dipengaruhi banyak faktor. Gen porsinya sangat kecil, katanya. Lingkungan internal dan eksternal lebih dominan, termasuk pola asuh, trauma, pencarian figur ayah atau ibu saat kecil hingga remaja, dan perhatian orangtua pada fase pertumbuhan dari anak hingga remaja. Kemampuan dan perhatian orangtua dalam memberikan arahan dan bimbingan fungsional perbedaan jenis kelamin juga menjadi faktor lain yang memengaruhi.
"Saat remaja adalah fase laten. Anak sudah mengenal seks tetapi tidak untuk menyalurkan secara biologis. Jika masa laten ini tidak didampingi orangtua dengan baik, orientasi anak bisa berubah. Anak bingung jika tidak diarahkan. Apalagi masa usia 15 tahun misalnya, sudah muncul ketertarikan terhadap lawan jenis," jelasnya.
Preventif lebih efektif
Saat remaja hilang arah, tanpa adanya figur orangtua sebagai tempat berbagi dan bertanya, orientasi seksual bisa saja berubah. Usia remaja sangat sensitif. Bagaimanapun remaja masih labil dan bisa terpengaruh lingkungan untuk memilih menjadi heteroseksual atau homoseksual.
"Karenanya remaja harus terus-menerus didampingi orangtuanya. Berikan kebebasan, namun tetap dampingi. Orangtua harus memosisikan diri sebagai teman, harus tahu perkembangan jaman sekarang dan jangan merasa paling benar," saran Lita.
Pola asuh yang tepat akan membantu remaja mengindentifikasi dirinya. Sementara pola asuh yang keliru membuat remaja mencari pengakuan diri di luar rumah, di lingkungan yang membuatnya nyaman. Trauma di masa kecil, termasuk karena kekerasan seksual atau fisik juga bisa memengaruhi pembentukan karakter remaja.
Hubungan lesbian siswi SMP di Depok, Jawa Barat, berinisial Tn (15) dengan Sj (26) yang tidak lain guru taekwondonya, adalah salah satu realitas sosial yang menunjukkan tingginya pengaruh lingkungan.
"Lingkungan terdekat sangat memengaruhi. Apalagi jika remaja memiliki perasaan, persepsi, dan keinginan yang sama dengan orang yang disukainya. Kesamaan ini bisa terbangun karena adanya kedekatan, sering bertemu, atau menjadikan gurunya sebagai tempat curhat. Selain juga karena adanya chemistry," jelas Lita, menganalisa realitas sosial ini.
Olahraga taekwondo memiliki kecenderungan orang yang kuat dan melindungi, serta memicu adrenalin. Sosok seperti ini bisa didapatkan Tn dari Sj.
"Anak merasa terlindungi," tambahnya, sekaligus menegaskan bertemunya si anak dalam lingkungan berorientasi seksual homoseks (guru yang lesbi) inilah yang membentuk orientasi seksual anak berubah.
Jika sudah merasa nyaman, anak pun memilih homoseksual sebagai orientasi seksualnya. Kalau sudah seperti ini, kemungkinan untuk berubah sangat kecil, kata Lita.
Sulit mengubah orientasi seksual
Masih menurut Lita, penelitian Asosiasi Psikiatri Amerika menunjukkan terapi yang dilakukan untuk orientasi seksual masih minim. Sekalipun ada, tingkat keberhasilannya kecil.
"Orientasi seksual terbanyak (dalam homoseksual) adalah lesbian. Penyebabnya karena sifat trenyuh hatinya, simpati, dan empati, lebih condong ke wanita," kata Lita.
Terapi hanya sedikit membantu seseorang untuk mengubah orientasi seksualnya. Semuanya harus kembali kepada kesadaran atau keinginan individu. Selain juga cara penanganan orangtua yang seharusnya tak bisa memaksa.
"Kalau sudah terjadi orangtua harus menerima selain juga berusaha untuk mengembalikan ke heteroseksual. Bagaimanapun orangtua harus menyadari bahwa ini adalah akibat kesalahan pola asuhnya," tegas Lita.
Orangtualah yang patut disalahkan jika lesbian terjadi pada remaja. Karena anak masih berada dalam koridor pola asuh orangtuanya, tandasnya.
( Sumber : Kompas )
"Meskipun pola asuh dan lingkungan mendorong heteroseksual, namun perubahan yang terus berjalan sampai dewasa bisa mengubah orientasi seksual seseorang. Apalagi mereka yang tidak dibekali pembentukan diri, karakter, pendidikan agama, dan moralitas dari orangtuanya," papar psikolog klinis Lita Gading kepada Kompas Female.
Menurut Lita, proses orientasi seksual dipengaruhi banyak faktor. Gen porsinya sangat kecil, katanya. Lingkungan internal dan eksternal lebih dominan, termasuk pola asuh, trauma, pencarian figur ayah atau ibu saat kecil hingga remaja, dan perhatian orangtua pada fase pertumbuhan dari anak hingga remaja. Kemampuan dan perhatian orangtua dalam memberikan arahan dan bimbingan fungsional perbedaan jenis kelamin juga menjadi faktor lain yang memengaruhi.
"Saat remaja adalah fase laten. Anak sudah mengenal seks tetapi tidak untuk menyalurkan secara biologis. Jika masa laten ini tidak didampingi orangtua dengan baik, orientasi anak bisa berubah. Anak bingung jika tidak diarahkan. Apalagi masa usia 15 tahun misalnya, sudah muncul ketertarikan terhadap lawan jenis," jelasnya.
Preventif lebih efektif
Saat remaja hilang arah, tanpa adanya figur orangtua sebagai tempat berbagi dan bertanya, orientasi seksual bisa saja berubah. Usia remaja sangat sensitif. Bagaimanapun remaja masih labil dan bisa terpengaruh lingkungan untuk memilih menjadi heteroseksual atau homoseksual.
"Karenanya remaja harus terus-menerus didampingi orangtuanya. Berikan kebebasan, namun tetap dampingi. Orangtua harus memosisikan diri sebagai teman, harus tahu perkembangan jaman sekarang dan jangan merasa paling benar," saran Lita.
Pola asuh yang tepat akan membantu remaja mengindentifikasi dirinya. Sementara pola asuh yang keliru membuat remaja mencari pengakuan diri di luar rumah, di lingkungan yang membuatnya nyaman. Trauma di masa kecil, termasuk karena kekerasan seksual atau fisik juga bisa memengaruhi pembentukan karakter remaja.
Hubungan lesbian siswi SMP di Depok, Jawa Barat, berinisial Tn (15) dengan Sj (26) yang tidak lain guru taekwondonya, adalah salah satu realitas sosial yang menunjukkan tingginya pengaruh lingkungan.
"Lingkungan terdekat sangat memengaruhi. Apalagi jika remaja memiliki perasaan, persepsi, dan keinginan yang sama dengan orang yang disukainya. Kesamaan ini bisa terbangun karena adanya kedekatan, sering bertemu, atau menjadikan gurunya sebagai tempat curhat. Selain juga karena adanya chemistry," jelas Lita, menganalisa realitas sosial ini.
Olahraga taekwondo memiliki kecenderungan orang yang kuat dan melindungi, serta memicu adrenalin. Sosok seperti ini bisa didapatkan Tn dari Sj.
"Anak merasa terlindungi," tambahnya, sekaligus menegaskan bertemunya si anak dalam lingkungan berorientasi seksual homoseks (guru yang lesbi) inilah yang membentuk orientasi seksual anak berubah.
Jika sudah merasa nyaman, anak pun memilih homoseksual sebagai orientasi seksualnya. Kalau sudah seperti ini, kemungkinan untuk berubah sangat kecil, kata Lita.
Sulit mengubah orientasi seksual
Masih menurut Lita, penelitian Asosiasi Psikiatri Amerika menunjukkan terapi yang dilakukan untuk orientasi seksual masih minim. Sekalipun ada, tingkat keberhasilannya kecil.
"Orientasi seksual terbanyak (dalam homoseksual) adalah lesbian. Penyebabnya karena sifat trenyuh hatinya, simpati, dan empati, lebih condong ke wanita," kata Lita.
Terapi hanya sedikit membantu seseorang untuk mengubah orientasi seksualnya. Semuanya harus kembali kepada kesadaran atau keinginan individu. Selain juga cara penanganan orangtua yang seharusnya tak bisa memaksa.
"Kalau sudah terjadi orangtua harus menerima selain juga berusaha untuk mengembalikan ke heteroseksual. Bagaimanapun orangtua harus menyadari bahwa ini adalah akibat kesalahan pola asuhnya," tegas Lita.
Orangtualah yang patut disalahkan jika lesbian terjadi pada remaja. Karena anak masih berada dalam koridor pola asuh orangtuanya, tandasnya.
( Sumber : Kompas )