Perjuangan untuk Pendidikan
Murid SDNegeri Cicaringin 3, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, Banten meniti kawat baja menyeberang Sungai Ciliman saat berangkat ke sekolah. Lambannya pemerintah membangun infrastruktur membuat mereka harus rela berjalan kaki sejauh enam kilometer pergi pulang untuk mencapai sekolah dan berisiko terjatuh ke sungai.
Bagi anak-anak desa yang umumnya masih duduk di bangku sekolah dasar, menyeberang jembatan rusak akibat tersapu banjir bandang bukan tanpa rasa takut. Tanpa pelampung dan tali pengaman, satu persatu anak merayap melintasi tali baja yang membentang di atas sungai sepanjang 40 meter. Selangkah demi selangkah mereka bergerak maju. Sesekali mereka terlihat berhenti untuk menyeimbangkan diri saat tali baja seukuran ibu jari bergoyang kuat.
Sementara itu sepuluh meter di bawah mereka, air Sungai Ciliman mengalir deras. Saat Sungai Ciliman banjir, niat anak-anak pergi ke sekolah pupus, mereka memilih untuk tidak pergi sekolah.
"Kasian anak-anak, mereka harus menyeberang sungai dengan tali sling (kawat baja), belum lagi kalau sungai banjir mereka terpaksa tidak sekolah karena resikonya besar," ujar Sunta seorang tokoh masyarakat di Cicaringin.
Perjalanan mencapai sekolah di SD Negeri Cicaringin 3 semakin berat bagi anak seusia mereka. Pagi-pagi buta bocah-bacah yang sebagian besar anak buruh penyadap karet dan petani ini sudah bangun dan menempuh perjalanan kaki sejauh enam kilometer pergi pulang ke sekolah. Tak heran jika orang tua di desa ini mulai memasukkan anaknya ke sekolah dasar pada usia delapan tahun karena pertimbangan fisik untuk menempuh perjalanan jauh.
Bagi Ibandrio, Maimunah, Masitoh, Enah dan sekitar 10 temannya, berjalan kaki menuju sekolah telah menjadi sarapan sehari-hari. Meski sudah terbiasa, mereka mengaku perjalanan tersebut cukup menguras tenaga. Untuk mengusir rasa lelah, canda dan gelak tawa terdengar sepanjang perjalanan mereka.
Ibandrio (kiri) dan Wika mengumpulkan pasir di tepi Sungai Ciliman, Desa Cicaringin, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, Banten. Bocah berusia antara 6 hingga 13 tahun di desa ini biasa mengumpulkan pasir selepas pulang sekolah. Dalam sehari mereka bisa mendapat upah berkisar Rp 8.000 hingga Rp 10.000.
Selepas sekolah, bukan berarti waktu luang anak-anak untuk bermain. Sebagian anak-anak di Cicaringin memilih mengumpulkan pasir sungai untuk dijual ke tetangga yang membutuhkan.
Satu ember pasir dihargai Rp 1.000, tak jarang mereka mendapatkan Rp 8.000 - Rp 10.000 dari hasil mengumpulkan pasir. Alasan mereka mendapatkan uang memang tak lain sekedar untuk jajan, namun cara mereka mendapatkan uang dan menjalani hidup untuk pendidikan tak sesederhana untuk anak seusia mereka.
( Sumber : Kompas )
Bagi anak-anak desa yang umumnya masih duduk di bangku sekolah dasar, menyeberang jembatan rusak akibat tersapu banjir bandang bukan tanpa rasa takut. Tanpa pelampung dan tali pengaman, satu persatu anak merayap melintasi tali baja yang membentang di atas sungai sepanjang 40 meter. Selangkah demi selangkah mereka bergerak maju. Sesekali mereka terlihat berhenti untuk menyeimbangkan diri saat tali baja seukuran ibu jari bergoyang kuat.
Sementara itu sepuluh meter di bawah mereka, air Sungai Ciliman mengalir deras. Saat Sungai Ciliman banjir, niat anak-anak pergi ke sekolah pupus, mereka memilih untuk tidak pergi sekolah.
"Kasian anak-anak, mereka harus menyeberang sungai dengan tali sling (kawat baja), belum lagi kalau sungai banjir mereka terpaksa tidak sekolah karena resikonya besar," ujar Sunta seorang tokoh masyarakat di Cicaringin.
Perjalanan mencapai sekolah di SD Negeri Cicaringin 3 semakin berat bagi anak seusia mereka. Pagi-pagi buta bocah-bacah yang sebagian besar anak buruh penyadap karet dan petani ini sudah bangun dan menempuh perjalanan kaki sejauh enam kilometer pergi pulang ke sekolah. Tak heran jika orang tua di desa ini mulai memasukkan anaknya ke sekolah dasar pada usia delapan tahun karena pertimbangan fisik untuk menempuh perjalanan jauh.
Bagi Ibandrio, Maimunah, Masitoh, Enah dan sekitar 10 temannya, berjalan kaki menuju sekolah telah menjadi sarapan sehari-hari. Meski sudah terbiasa, mereka mengaku perjalanan tersebut cukup menguras tenaga. Untuk mengusir rasa lelah, canda dan gelak tawa terdengar sepanjang perjalanan mereka.
Ibandrio (kiri) dan Wika mengumpulkan pasir di tepi Sungai Ciliman, Desa Cicaringin, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, Banten. Bocah berusia antara 6 hingga 13 tahun di desa ini biasa mengumpulkan pasir selepas pulang sekolah. Dalam sehari mereka bisa mendapat upah berkisar Rp 8.000 hingga Rp 10.000.
Selepas sekolah, bukan berarti waktu luang anak-anak untuk bermain. Sebagian anak-anak di Cicaringin memilih mengumpulkan pasir sungai untuk dijual ke tetangga yang membutuhkan.
Satu ember pasir dihargai Rp 1.000, tak jarang mereka mendapatkan Rp 8.000 - Rp 10.000 dari hasil mengumpulkan pasir. Alasan mereka mendapatkan uang memang tak lain sekedar untuk jajan, namun cara mereka mendapatkan uang dan menjalani hidup untuk pendidikan tak sesederhana untuk anak seusia mereka.
( Sumber : Kompas )
Follow @BlogAB
Posted by Unknown
on 12.13. Filed under
Nasional
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response