RIM Bangun Pabrik di Malaysia, Mengapa Bukan di Indonesia?
Indonesia yang dihuni lebih dari 240 juta jiwa selama ini dianggap sebagai pangsa pasar potensial bagi sejumlah perusahaan raksasa dunia. Namun, aQfaktor itu saja rupanya tidak cukup untuk membuat mereka untuk memilih negeri ini sebagai basis produksi mereka.
Kenyataan tersebut terlihat dari keputusan Research in Motion (RIM), produsen perangkat telepon genggam BlackBerry, yang memilih membangun pabrik di Malaysia. Tak hanya RIM, langkah serupa dilakukan produsen peralatan rumah tangga asal Jerman, Bosch, yang memilih membangun pabrik panel solar di negeri jiran.
Padahal, baik RIM maupun Bosch adalah perusahaan internasional yang menikmati untung besar dari penjualan produk mereka di Indonesia. Jika dibandingkan Malaysia, jelas pasar Indonesia lebih banyak dijejali produk dari dua perusahaan itu.
Tak ayal, langkah kedua perusahaan tersebut membuat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan geram. "Kenapa membangun pabrik di Malaysia?" dia mempertanyakannya di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu 7 September 2011.
Gita mengungkapkan pasar telepon pintar asal Kanada itu di Indonesia sangat besar. Tahun ini saja RIM menargetkan penjualan 4 juta unit dengan harga rata-rata U$300 per unit. Di Malaysia, RIM hanya mampu menjual tak lebih dari 400 ribu unit. "Cuma sepersepuluh Indonesia," kata Gita.
Ceruk pasar yang sangat besar di Indonesia jelas telah memberikan keuntungan besar bagi perusahaan asal Kanada itu. Menurut catatan VIVAnews, jumlah BlackBerry yang beredar di Tanah Air hinga saat ini mencapai kurang lebih 5,18 juta unit. Jumlah itu sangat mungkin lebih besar karena baru merekam data penjualan di tiga operator telekomunikasi terbesar di Indonesia--Telkomsel, Indosat, dan Excelcomindo.
Secara global, laporan kinerja terbaru RIM melaporkan jumlah BlackBerry yang beredar di dunia mencapai 52,3 juta unit. Dengan capaian itu, sepanjang tahun fiskal yang berakhir 26 Februari 2011 lalu, pendapatan RIM meningkat 33 persen--dari US$15 miliar atau setara Rp130 triliun, menjadi US$19,9 miliar atau Rp173 triliun.
Gambaran serupa kurang lebih juga terlihat pada Bosch. Perusahaan ini banyak mengeruk untung dari pasar Indonesia. Sama seperti BlackBerry, berbagai produk Bosch lebih banyak malang-melintang di Indonesia ketimbang di Malaysia.
Pemerintah, masih kata Gita, telah langsung mengambil sikap terhadap sejumlah perusahaan asing yang selama ini dianggap hanya peduli meraup untung di Indonesia. Salah satu upaya yang tengah dikaji pemerintah adalah memberikan disinsentif kepada mereka. "Menteri Perindustrian sudah mengambil sikap," katanya.
Pemerintah sedang mendata produk-produk yang dikonsumsi rakyat Indonesia dengan skala besar, namun tidak diproduksi di Indonesia. "Tidak ada alasan mereka tidak produksi di Indonesia," Gita menegaskan.
Dalam kasus RIM, Menteri Perindustrian MS Hidayat bahkan langsung mengusulkan agar produk BlackBerry dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tambahan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Hidayat menegaskan, penerapan opsi kebijakan disintensif dan insentif perlu ketat diberlakukan agar lebih banyak perusahaan asing—yang produknya menyasar pasar Indonesia--menanamkan modal di Indonesia.
Data investasi
Data BKPM menunjukkan realisasi investasi dari dalam dan luar negeri sepanjang semester I-2011 mencapai Rp115,6 triliun. Angka ini terdiri dari investasi luar negeri (penanaman modal asing-PMA) yang naik 16,2 persen menjadi Rp82,6 triliun, dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang melonjak 50,7 persen menjadi Rp33 triliun.
Selama ini PMA lebih banyak terkonsentrasi di sektor pertambangan sebesar US$2,5 miliar; transportasi, gudang dan telekomunikasi US$1 miliar; industri kimia dasar US$0,9 miliar; industri logam dasar, barang, logam dan elektronik US$0,8 miliar; serta tanaman pangan dan perkebunan US$ 0,7 miliar.
BKPM, dalam situsnya, menilai dengan jumlah 240 juta penduduk, Indonesia menawarkan pasar domestik yang luas, dengan lebih dari 50 persen penduduknya tinggal di daerah perkotaan dan telah mengadopsi gaya hidup modern.
Pasar Indonesia dilihat semakin potensial karena lapisan masyarakat kelas menengah yang sejahtera kian bertambah. Kelompok ini dianggap merupakan penopang pertumbuhan ekonomi, di mana lebih dari 50 persen produk domestik bruto Indonesia berasal dari konsumsi masyarakat.
Lebih cerdas
Pendapat berbeda disuarakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa. Bos para menteri bidang ekonomi ini mengatakan pemerintah, sesuai ketentuan dalam Economic Asean Integrity, tidak dimungkinkan untuk menerapkan berbagai kebijakan yang menghambat proses perdagangan.
Hatta menyatakan pemerintah telah memiliki banyak strategi untuk mengatasi permasalahan ini. "Kita tidak bisa sembarangan menetapkan tariff barrier tetapi kita punya cara-cara lain yang lebih cerdas," tuturnya.
Sayang, Hatta menambahkan, kepastian apa “cara-cara yang lebih cerdas” itu baru bisa diumumkan setelah keluar hasil evaluasi atas produk konsumsi buatan perusahaan asing yang paling banyak beredar di Indonesia.
Hatta menegaskan, evaluasi dilakukan semata karena pemerintah tidak menginginkan Indonesia hanya menjadi pasar negara lain. "Kita menginginkan Indonesia menjadi pasar utama bagi produk dalam negeri. Walaupun kita tidak menentang pasar terbuka, tetapi kepentingan nasional perlu kita jaga," kata Hatta.
Menanggapi kondisi tersebut, pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada Revrisond Baswir menilai pemerintah sebaiknya menempuh cara-cara positif dalam merespons keenngganan investor menanamkan modal di Indonesia.
Penerapan kebijakan disinsentif, ia melanjutkan, justru akan membuat investor asing memiliki persepsi negatif terhadap Indonesia.
"Sebaiknya pemerintah justru menerbitkan kebijakan insentif bagi perusahaan yang mendirikan pabrik di Indonesia. Dengan cara itu, secara sendirinya disinsentif akan dikenakan pada investor yang tidak membangun pabrik di Indonesia," kata dia.
Revrisond menilai, keengganan perusahaan seperti RIM, Bosch, dan mungkin perusahaan asing lain untuk membuka pabrik di Indonesia tidak lain dikarenakan berbagai persoalan, antara lain: tidak memadainya infrastruktur, khususnya sumber daya manusia, yang mampu mendukung operasi perusahaan-perusahaan asing di atas. Selain itu, Indonesia harus membenahi sistem birokrasnya, yang terkenal sangat korup.
"Mereka memilih Malaysia karena dari segi infrastruktur fisik dan SDM sudah jauh lebih baik dari Indonesia," kata Revrisond. "Kebijakan disinsentif hanya akan membuka peluang tawar-menawar dengan birokrat, karena kebijakan ini memberi mereka kekuasaan yang lebih kepada mereka."
Kenyataan tersebut terlihat dari keputusan Research in Motion (RIM), produsen perangkat telepon genggam BlackBerry, yang memilih membangun pabrik di Malaysia. Tak hanya RIM, langkah serupa dilakukan produsen peralatan rumah tangga asal Jerman, Bosch, yang memilih membangun pabrik panel solar di negeri jiran.
Padahal, baik RIM maupun Bosch adalah perusahaan internasional yang menikmati untung besar dari penjualan produk mereka di Indonesia. Jika dibandingkan Malaysia, jelas pasar Indonesia lebih banyak dijejali produk dari dua perusahaan itu.
Tak ayal, langkah kedua perusahaan tersebut membuat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan geram. "Kenapa membangun pabrik di Malaysia?" dia mempertanyakannya di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu 7 September 2011.
Gita mengungkapkan pasar telepon pintar asal Kanada itu di Indonesia sangat besar. Tahun ini saja RIM menargetkan penjualan 4 juta unit dengan harga rata-rata U$300 per unit. Di Malaysia, RIM hanya mampu menjual tak lebih dari 400 ribu unit. "Cuma sepersepuluh Indonesia," kata Gita.
Ceruk pasar yang sangat besar di Indonesia jelas telah memberikan keuntungan besar bagi perusahaan asal Kanada itu. Menurut catatan VIVAnews, jumlah BlackBerry yang beredar di Tanah Air hinga saat ini mencapai kurang lebih 5,18 juta unit. Jumlah itu sangat mungkin lebih besar karena baru merekam data penjualan di tiga operator telekomunikasi terbesar di Indonesia--Telkomsel, Indosat, dan Excelcomindo.
Secara global, laporan kinerja terbaru RIM melaporkan jumlah BlackBerry yang beredar di dunia mencapai 52,3 juta unit. Dengan capaian itu, sepanjang tahun fiskal yang berakhir 26 Februari 2011 lalu, pendapatan RIM meningkat 33 persen--dari US$15 miliar atau setara Rp130 triliun, menjadi US$19,9 miliar atau Rp173 triliun.
Gambaran serupa kurang lebih juga terlihat pada Bosch. Perusahaan ini banyak mengeruk untung dari pasar Indonesia. Sama seperti BlackBerry, berbagai produk Bosch lebih banyak malang-melintang di Indonesia ketimbang di Malaysia.
Pemerintah, masih kata Gita, telah langsung mengambil sikap terhadap sejumlah perusahaan asing yang selama ini dianggap hanya peduli meraup untung di Indonesia. Salah satu upaya yang tengah dikaji pemerintah adalah memberikan disinsentif kepada mereka. "Menteri Perindustrian sudah mengambil sikap," katanya.
Pemerintah sedang mendata produk-produk yang dikonsumsi rakyat Indonesia dengan skala besar, namun tidak diproduksi di Indonesia. "Tidak ada alasan mereka tidak produksi di Indonesia," Gita menegaskan.
Dalam kasus RIM, Menteri Perindustrian MS Hidayat bahkan langsung mengusulkan agar produk BlackBerry dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tambahan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Hidayat menegaskan, penerapan opsi kebijakan disintensif dan insentif perlu ketat diberlakukan agar lebih banyak perusahaan asing—yang produknya menyasar pasar Indonesia--menanamkan modal di Indonesia.
Data investasi
Data BKPM menunjukkan realisasi investasi dari dalam dan luar negeri sepanjang semester I-2011 mencapai Rp115,6 triliun. Angka ini terdiri dari investasi luar negeri (penanaman modal asing-PMA) yang naik 16,2 persen menjadi Rp82,6 triliun, dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang melonjak 50,7 persen menjadi Rp33 triliun.
Selama ini PMA lebih banyak terkonsentrasi di sektor pertambangan sebesar US$2,5 miliar; transportasi, gudang dan telekomunikasi US$1 miliar; industri kimia dasar US$0,9 miliar; industri logam dasar, barang, logam dan elektronik US$0,8 miliar; serta tanaman pangan dan perkebunan US$ 0,7 miliar.
BKPM, dalam situsnya, menilai dengan jumlah 240 juta penduduk, Indonesia menawarkan pasar domestik yang luas, dengan lebih dari 50 persen penduduknya tinggal di daerah perkotaan dan telah mengadopsi gaya hidup modern.
Pasar Indonesia dilihat semakin potensial karena lapisan masyarakat kelas menengah yang sejahtera kian bertambah. Kelompok ini dianggap merupakan penopang pertumbuhan ekonomi, di mana lebih dari 50 persen produk domestik bruto Indonesia berasal dari konsumsi masyarakat.
Lebih cerdas
Pendapat berbeda disuarakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa. Bos para menteri bidang ekonomi ini mengatakan pemerintah, sesuai ketentuan dalam Economic Asean Integrity, tidak dimungkinkan untuk menerapkan berbagai kebijakan yang menghambat proses perdagangan.
Hatta menyatakan pemerintah telah memiliki banyak strategi untuk mengatasi permasalahan ini. "Kita tidak bisa sembarangan menetapkan tariff barrier tetapi kita punya cara-cara lain yang lebih cerdas," tuturnya.
Sayang, Hatta menambahkan, kepastian apa “cara-cara yang lebih cerdas” itu baru bisa diumumkan setelah keluar hasil evaluasi atas produk konsumsi buatan perusahaan asing yang paling banyak beredar di Indonesia.
Hatta menegaskan, evaluasi dilakukan semata karena pemerintah tidak menginginkan Indonesia hanya menjadi pasar negara lain. "Kita menginginkan Indonesia menjadi pasar utama bagi produk dalam negeri. Walaupun kita tidak menentang pasar terbuka, tetapi kepentingan nasional perlu kita jaga," kata Hatta.
Menanggapi kondisi tersebut, pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada Revrisond Baswir menilai pemerintah sebaiknya menempuh cara-cara positif dalam merespons keenngganan investor menanamkan modal di Indonesia.
Penerapan kebijakan disinsentif, ia melanjutkan, justru akan membuat investor asing memiliki persepsi negatif terhadap Indonesia.
"Sebaiknya pemerintah justru menerbitkan kebijakan insentif bagi perusahaan yang mendirikan pabrik di Indonesia. Dengan cara itu, secara sendirinya disinsentif akan dikenakan pada investor yang tidak membangun pabrik di Indonesia," kata dia.
Revrisond menilai, keengganan perusahaan seperti RIM, Bosch, dan mungkin perusahaan asing lain untuk membuka pabrik di Indonesia tidak lain dikarenakan berbagai persoalan, antara lain: tidak memadainya infrastruktur, khususnya sumber daya manusia, yang mampu mendukung operasi perusahaan-perusahaan asing di atas. Selain itu, Indonesia harus membenahi sistem birokrasnya, yang terkenal sangat korup.
"Mereka memilih Malaysia karena dari segi infrastruktur fisik dan SDM sudah jauh lebih baik dari Indonesia," kata Revrisond. "Kebijakan disinsentif hanya akan membuka peluang tawar-menawar dengan birokrat, karena kebijakan ini memberi mereka kekuasaan yang lebih kepada mereka."